Diskriminasi P3K Badung: Kinerja Tinggi, Kesejahteraan Minim – Akankah Pemimpin Baru Bergerak?


Di balik roda birokrasi pemerintahan daerah Kabupaten Badung yang terus berputar, ada ribuan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) yang bekerja tanpa kenal lelah. Mereka adalah tenaga pendidik, tenaga kesehatan, dan pegawai administrasi yang menjadi tulang punggung pelayanan publik. Namun, di tengah dedikasi mereka, P3K menghadapi diskriminasi sistemik yang terus menggerus motivasi dan kesejahteraan mereka.
Dibandingkan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS), P3K harus menerima kenyataan pahit: meski bekerja dengan beban yang sama—bahkan sering kali lebih berat—mereka tidak mendapatkan hak yang setara. Tunjangan penambahan penghasilan (TPP) yang besar diberikan kepada PNS nyatanya tidak berlaku bagi P3K. Hal ini menimbulkan kesenjangan kesejahteraan yang semakin melebar, menciptakan jurang ketidakadilan di dalam birokrasi.
Setiap kali berbicara tentang kesejahteraan, P3K selalu diperlakukan seperti pegawai kelas dua. Padahal mereka bekerja dengan standar yang sama, tetapi haknya sangat jauh berbeda.
Sistem kepegawaian khususnya di Kabupaten Badung masih mengutamakan status dibandingkan kinerja. PNS mendapatkan perlakuan istimewa karena dianggap sebagai “pegawai inti”, sementara P3K sekadar dianggap sebagai tenaga pelengkap. Padahal, ada kasus dilapangan dimana PNS yang telah mendapatkan status tetap justru menunjukkan kinerja yang lebih rendah dibandingkan dengan P3K yang masih harus berjuang membuktikan diri.
Berdasarkan pengamatan dilapangan, banyak dari P3K yang mempertanyakan: Jika pemerintah pusat mengakui kinerja mereka dengan memberikan gaji setara dengan PNS, mengapa tunjangan kesejahteraan masih dikecualikan? Bukankah itu bentuk pengakuan setengah hati Pemkab?

Memang tidak bisa dipungkiri, ada unsur politik dalam sistem kepegawaian. Beberapa posisi dalam birokrasi masih sarat dengan nepotisme, di mana promosi dan tunjangan lebih sering diberikan berdasarkan kedekatan politik atau relasi pribadi, bukan pada kinerja nyata. Berbagai kebijakan terkait kepegawaian sering kali dibuat tanpa mempertimbangkan kondisi di lapangan. Banyak pemangku kebijakan yang duduk di kursi empuk tidak memahami realitas yang dihadapi oleh para P3K di lapangan.
Ketidakadilan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Jika pemkab serius ingin menciptakan birokrasi yang profesional dan berorientasi pada kinerja, maka sudah saatnya P3K mendapatkan hak tunjangan yang setara dengan PNS. Pemkab harus menghapus stigma bahwa P3K adalah pegawai kelas dua. Semua pegawai, baik PNS maupun P3K, adalah bagian dari birokrasi yang bertujuan melayani masyarakat luas.
Jika kita membiarkan diskriminasi ini terus berlanjut, maka kita turut menjadi bagian dari sistem yang tidak adil. Tata kelola kepegawaian ini membutuhkan perubahan. P3K telah bekerja keras untuk Kabupaten Badung, dan sudah saatnya mereka mendapatkan perlakuan yang adil.
Pemkab Badung, akankah Anda tetap diam?

(CJ08)

Please follow and like us:
Pin Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RSS
Follow by Email